I.Kedatangan Bangsa Bangsa Eropa
1.
Masa
Bangsa Portugis
Sebelum
merdeka, negara Indonesia merasakan pahitnya penjajahan oleh beberapa negara
asing. Dimulai dari Portugis yang pertama kali tiba di Malaka pada tahun 1509.
Portugis berhasil menguasai Malaka pada 10 Agustus 1511 yang dipimpin oleh Alfonso
de Albuquerque. Setelah menguasai Malaka, portugis mulai bergerak dari
Madura sampai ke Ternate. Bangsa Indonesia melakukan berbagai perlawanan
terhadap Portugis. Salah satu perlawan yang terkenal adalah perlawan Fatahillah
yang berasal dari Demak di Sunda Kelapa (sekarang Jakarta). Fatahillah berhasil
memukul mundur bangsa Portugis dan mengambil kembali Sunda Kelapa. Setelah itu
nama Sunda Kelapa diubah oleh Fatahillah menjadi Jayakarta.
2.
Masa
Bangsa Spanyol
Keberhasilan
Portugis mendorong bangsa Eropa yang lain untuk ikut mencari untung. Kalau
Portugis lebih memusatkan perhatian di Ternate, Spanyol lebih tertarik
bersekutu dengan Tidore. Terjadilah persaingan antara Portugis dan Spanyol di
kawasan Maluku. Spanyol kemudian membangun benteng di Tidore. Pembangunan benteng
ini semakin memperuncing persaingan persekutuan Portugis dan Ternate dengan
Spanyol dan Tidore. Akhirnya pada tahun 1527 terjadilah pertempuran antara
Ternate dengan bantuan Portugis melawan Tidore yang dibantu oleh Spanyol.
Benteng yang dibangun Spanyol di Tidore dapat direbut oleh persekutuan Ternate
dan Portugis.
Portugis
dan Spanyol menyadari kerugian yang ditimbulkan akibat persaingan itu. Untuk
mengatasi masalah tersebut, pada tahun 1534 keduanya menyepakati diadakanlah
Perjanjian Saragosa. Isi perjanjian itu antara lain;
- Maluku menjadi daerah pengaruh dan kegiatan Portugis
- Spanyol harus meninggalkan Maluku dan memusatkan diri
di Filipina
Perjanjian
ini semakin mengokohkan kedudukan Portugis di Maluku. Dalam melaksanakan
monopoli perdagangan, Portugis juga memiliki ambisi untuk menanamkan kekuasaan
di Maluku. Itulah sebabnya, rakyat dan raja Ternate kemudian menentang
Portugis.
3.
Masa
Pemerintahan penjajah Belanda
Masa
penjajahan Portugis berakhir pada tahun 1602 setelah Belanda masuk ke
Indonesia. Belanda masuk ke Indonesia melalui Banten di bawah pimpinan Cornelius
de Houtman. Belanda ingin menguasai pasar rempah-rempah di Indonesia dengan
mendirikan Verenigde Oostindische Compagnie (VOC) di Banten pada tahun
1602. Karena pasar di Banten mendapat saingan dari pedagang tionghoa dan
inggris maka kantor VOC pindah ke Sulawesi Selatan. Di Sulawesi Selatan, VOC
mendapat perlawanan dari Sultan Hasanuddin. Setelah berpindah-pindah tempat,
akhirnya VOC sampai d Yogyakarta. Di Yogyakarta, VOC menandatangani perjanjian
Giyanti yang isinya adalah Belanda mengakui mangkubumi sebagai Sultan
Hamengkubuwono 1. Perjanjian Giyanti juga memecah kerajaan Mataram menjadi
Kasunan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta. Lalu, akhirnya VOC dibubarkan pada
tanggal 1 Januari 1800 setelah Belanda kalah dari Perancis.
Setelah
VOC dibubarkan, penjajahan Belanda tidak berhenti. Belanda menunjuk Daendels
sebagai gubernur jenderal hindia belanda. Pada masa Deandels, masyarakat
Indonesia dipaksa untuk membuat jalan raya dari Anyer sampai Panarukan. Namun
masa pemerintahan Daendels tidak berlangsung lama dan digantikan oleh Johannes
van den Bosch. Van den Bosch menerapkan sistem tanam paksa (cultuur
stelsel). Dalam sistem tanam paksa, setiap desa harus menyisihkan sebagian
tanahnya untuk ditanami komoditi ekspor khususnya kopi, tebu, nila. Hasil
tanaman ini akan dijual kepada pemerintah kolonial dengan harga yang sudah
dipastikan (20%) dan hasil panen diserahkan kepada pemerintah kolonial.
4.
Masa
Pemerintahan penjajah Jepang
Setelah
350 tahun Belanda menguasai Indonesia, pemerintahan Belanda di Indonesia
digantikan oleh bangsa Jepang. Belanda menyerah tanpa syarat kepada jepang
melalui perjanjian Kalijati pada tanggal 8 maret 1942. Masa pendudukan Jepang
dimulai pada tahun 1942 dan berakhir pada 17 agustus 1945. Di Indonesia, Jepang
membentuk beberapa organisasi. Organisasi yang dibuat Jepang antara lain adalah
PETA (Pembela Tanah Air), Heiho (pasukan Indonesia buatan Jepang), PUTERA, Jawa
Hokokai (pengganti Putera).
Pada
awalnya, kedatangan pasukan Jepang disambut dengan hangat oleh bangsa
Indonesia. Namun dalam kenyataannya, Jepang tidak jauh berbeda dengan Negara
imperialis lainnya. Jepang termasuk negara imperialis baru, seperti Jerman dan
Italia. Sebagai Negara imperialis baru, Jepang membutuhkan bahan-bahan mentah
untuk memenuhi kebutuhan industrinya dan pasar bagi barang-barang industrinya.
Oleh karena itu, daerah jajahan menjadi sangat penting artinya bagi kemajuan
industri Jepang. Apalah arti kemajuan industry apabila tidak didukung dengan
bahan mentah (baku) yang cukup dengan harga yang murah dan pasar barang hasil
industri yang luas. Dengan demikian, jelas bahwa tujuan kedatangan Balatentara
Jepang ke Indonesia adalah untuk menanamkan kekuasaannya, untuk menjajah
Indonesia. Artinya, pengakuan sebagai ‘saudara tua’ merupakan semboyan yang
penuh kepalsuan. Hal itu dapat dibuktikan dari beberapa kenyataan yang terjadi
selama pendudukan Balatentara Jepang di Indonesia. Bahkan, perlakuan pasukan
Jepang lebih kejam sehingga bangsa Indonesia mengalami kesengsaraan.
PERLAWANAN
RAKYAT TERHADAP PENJAJAH
Perlawanan
terhadap penjajahan Jepang banyak dilakukan di beberapa daerah di Indonesia. Di
daerah Cot Plieng Aceh perlawanan terhadap Jepang dipimpin oleh Tengku Abdul
Jalil (seorang guru ngaji di daerah tersebut). Usaha Jepang untuk membujuk sang
ulama tidak berhasil, sehingga Jepang melakukan serangan mendadak di pagi buta
sewaktu rakyat sedang melaksanakan shalat Subuh. Dengan persenjataan
sederhana/seadanya rakyat berusaha menahan serangan dan berhasil memukul mundur
pasukan Jepang untuk kembali ke Lhokseumawe. Begitu juga dengan serangan kedua,
berhasil digagalkan oleh rakyat. Baru pada serangan terakhir (ketiga) Jepang
berhasil membakar masjid sementara pemimpin pemberontakan (Teuku Abdul Jalil)
berhasil meloloskan diri dari kepungan musuh, namun akhirnya tertembak saat
sedang shalat.
Perlawanan
lain yang terkenal lainnya adalah perlawanan PETA di daerah Blitar, Jawa Timur.
Perlawanan ini dipimpin oleh Syodanco Supriyadi, Syodanco Muradi, dan Dr.
Ismail. Perlawanan ini disebabkan karena persoalan pengumpulan padi, Romusha
maupun Heiho yang dilakukan secara paksa dan di luar batas perikemanusiaan.
Sebagai putera rakyat para pejuang tidak tega melihat penderitaan rakyat. Di
samping itu sikap para pelatih militer Jepang yang angkuh dan merendahkan
prajurit-prajurit Indonesia. Perlawanan PETA di Blitar merupakan perlawanan
yang terbesar di Jawa. Tetapi dengan tipu muslihat Jepang melalui Kolonel
Katagiri (Komandan pasukan Jepang), pasukan PETA berhasil ditipu dengan
pura-pura diajak berunding. Empat perwira PETA dihukum mati dan tiga lainnya
disiksa sampai mati. Sedangkan Syodanco Supriyadi berhasil meloloskan diri.
1.
Persiapan
kemerdekaan
Pemerintahan
Jepang di Indonesia berakhir setelah Jepang kalah dari tentara sekutu di Perang
Dunia II. Dua kota di Jepang yaitu Hiroshima dan Nagasaki dijatuhi bom oleh
tentara sekutu. Setelah mendengar adanya kekalahan Jepang, dibentuklah BPUPKI
(Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) atau Dokuritsu
Junbi Cosakai yang diketuai oleh Radjiman Widyodiningrat. Nama BPUPKI
diganti menjadi PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) atau Dokuritsu
Junbi Inkai untuk lebih menegaskan keinginan dan tujuan bangsa Indonesia
untuk merdeka.
Soekarno,
Hatta selaku pimpinan PPKI dan Radjiman Wedyodiningrat sebagai mantan ketua
BPUPKI diterbangkan ke Dalat, Vietnam untuk bertemu Marsekal Terauchi.
Mereka dikabarkan bahwa pasukan Jepang sedang di ambang kekalahan dan akan
memberikan kemerdekaan kepada Indonesia. Namun pada tanggal 10 Agustus 1945,
Sutan Syahrir telah mendengar berita lewat radio bahwa Jepang telah menyerah
kepada Sekutu. Para pejuang bawah tanah bersiap-siap memproklamasikan
kemerdekaan RI, dan menolak bentuk kemerdekaan yang diberikan sebagai hadiah
Jepang.
Saat
Soekarno, Hatta dan Radjiman kembali ke tanah air dari Dalat, Sutan Syahrir
mendesak agar Soekarno segera memproklamasikan kemerdekaan karena menganggap
hasil pertemuan di Dalat sebagai tipu muslihat Jepang, karena Jepang setiap
saat sudah harus menyerah kepada Sekutu dan demi menghindari perpecahan dalam
kubu nasionalis, antara yang anti dan pro Jepang. Hatta menceritakan kepada
Syahrir tentang hasil pertemuan di Dalat. Soekarno belum yakin bahwa Jepang
memang telah menyerah, dan proklamasi kemerdekaan RI saat itu dapat menimbulkan
pertumpahan darah yang besar, dan dapat berakibat sangat fatal jika para
pejuang Indonesia belum siap. Soekarno mengingatkan Hatta bahwa Syahrir tidak
berhak memproklamasikan kemerdekaan karena itu adalah hak Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (PPKI).
Sementara
itu Syahrir menganggap PPKI adalah badan buatan Jepang dan proklamasi
kemerdekaan oleh PPKI hanya merupakan ‘hadiah’ dari Jepang. Setelah mendengar
Jepang menyerah pada tanggal 14 Agustus 1945, golongan muda mendesak golongan
tua untuk segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Namun golongan tua
tidak ingin terburu-buru. Mereka tidak menginginkan terjadinya pertumpahan
darah pada saat proklamasi. Soekarno dan Hatta bersama Soebardjo kemudian ke
rumah Laksamana Muda Maeda, di Jalan Medan Merdeka Utara. Maeda menyambut
kedatangan mereka dengan ucapan selamat atas keberhasilan mereka di Dalat.
Sepulang
dari Maeda, Soekarno dan Hatta segera mempersiapkan pertemuan Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada pukul 10 pagi 16 Agustus keesokan harinya di
kantor Jalan Pejambon No 2 guna membicarakan segala sesuatu yang berhubungan
dengan persiapan Proklamasi Kemerdekaan. Sehari kemudian, gejolak tekanan yang
menghendaki pengambilalihan kekuasaan oleh Indonesia makin memuncak dilancarkan
para pemuda dari beberapa golongan. Rapat PPKI pada 16 Agustus pukul 10 pagi
tidak dilaksanakan karena Soekarno dan Hatta tidak muncul. Peserta rapat tidak tahu telah terjadiperistiwa
Rengasdengklok.
2. Peristiwa Rengasdengklok
Para pemuda pejuang, termasuk Chaerul Saleh, Sukarni, dan Wikana berdiskusi dengan Ibrahim dan pada dini hari tanggal 16 Agustus 1945. Bersama Shodanco Singgih, salah seorang
anggota PETA, dan pemuda lain, mereka membawa Soekarno (bersama Fatmawati dan Guntur yang baru berusia 9 bulan) dan Hatta, ke
Rengasdengklok, yang kemudian terkenal sebagai peristiwa Rengasdengklok. Tujuannya adalah agar Ir.
Soekarno dan Drs. Moh. Hatta tidak terpengaruh oleh Jepang. Di sini, mereka
kembali meyakinkan Soekarno bahwa Jepang telah menyerah dan para pejuang telah
siap untuk melawan Jepang, apa pun risikonya.
Di Jakarta, golongan muda, Wikana, dan
golongan tua, yaitu Mr. Ahmad Soebardjo melakukan perundingan. Mr.
Ahmad Soebardjo menyetujui untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia di
Jakarta. Maka diutuslah Yusuf Kunto untuk mengantar Ahmad Soebardjo ke Rengasdengklok. Mereka menjemput Ir.
Soekarno dan Drs. Moh. Hatta kembali ke Jakarta. Mr. Ahmad Soebardjo berhasil
meyakinkan para pemuda untuk tidak terburu – buru memproklamasikan kemerdekaan.
Setelah tiba di Jakarta, mereka pulang
kerumah masing-masing. Mengingat bahwa hotel Des Indes (sekarang kompleks
pertokoan di Harmoni) tidak dapat digunakan untuk pertemuan setelah pukul 10
malam, maka tawaran Laksamana Muda Maeda untuk menggunakan rumahnya (sekarang
gedung museum perumusan teks proklamasi) sebagai tempat rapat PPKI diterima
oleh para tokoh Indonesia.
Perundingan antara golongan muda dan golongan
tua dalam penyusunan teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia berlangsung pukul
02.00 – 04.00 dini hari. Teks proklamasi ditulis di ruang makan di laksamana
Tadashi Maeda jln Imam Bonjol No 1. Para penyusun teks proklamasi itu adalah
Ir. Soekarno, Drs. Moh. Hatta, dan Mr. Ahmad Soebarjo. Konsep teks proklamasi
ditulis oleh Ir. Soekarno sendiri. Di ruang depan, hadir B.M Diah Sayuti Melik,
Sukarni dan Soediro. Sukarni mengusulkan agar yang menandatangani teks
proklamasi itu adalah Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta atas nama bangsa
Indonesia.
Teks Proklamasi Indonesia itu diketik oleh
Sayuti melik. Pagi harinya, 17 Agustus 1945, di kediaman Soekarno, Jalan Pegangsaan Timur 56 telah hadir antara lain Soewirjo, Wilopo, Gafar Pringgodigdo, Tabrani dan Trimurti. Acara dimulai pada pukul 10:00 dengan pembacaan
proklamasi oleh Soekarno dan disambung pidato singkat tanpa teks. Kemudian
bendera Merah Putih, yang telah dijahit oleh bu Fatmawati, dikibarkan, disusul
dengan sambutan oleh Soewirjo, wakil walikota Jakarta
saat itu dan Moewardi, pimpinan Barisan Pelopor.
Pada awalnya Trimurti diminta untuk menaikkan bendera namun ia
menolak dengan alasan pengerekan bendera sebaiknya dilakukan oleh seorang
prajurit. Oleh sebab itu ditunjuklah Latief Hendraningrat, seorang prajurit PETA, dibantu oleh Soehoed untuk tugas tersebut.
Seorang pemudi muncul dari belakang membawa nampan berisi bendera Merah Putih (Sang Saka Merah Putih), yang dijahit oleh Fatmawati beberapa hari sebelumnya. Setelah bendera
berkibar, hadirin menyanyikan lagu Indonesia Raya. Sampai saat ini, bendera
pusaka tersebut masih disimpan di Museum Tugu Monumen Nasional.
Setelah upacara selesai berlangsung, kurang
lebih 100 orang anggota Barisan Pelopor yang dipimpin S. Brata
datang terburu-buru karena mereka tidak mengetahui perubahan tempat mendadak
dari Ikada ke Pegangsaan. Mereka menuntut Soekarno mengulang pembacaan
Proklamasi, namun ditolak. Akhirnya Hatta memberikan amanat singkat kepada
mereka.
Pada tanggal 18 Agustus 1945, Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) mengambil keputusan, mengesahkan dan
menetapkan Undang-Undang Dasar (UUD) sebagai dasar negara Republik Indonesia,
yang selanjutnya dikenal sebagai UUD 45. Dengan demikian terbentuklah Pemerintahan
Negara Kesatuan Indonesia yang berbentuk Republik (NKRI) dengan kedaulatan di
tangan rakyat yang dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat
(MPR) yang akan dibentuk kemudian.
Setelah itu Soekarno dan M.Hatta terpilih
atas usul dari Oto Iskandardinata dan persetujuan dari PPKI sebagai presiden
dan wakil presiden Republik Indonesia yang pertama.
SEJARAH
PROKLAMASI NEGARA INDONESIA
Pada tanggal 6 Agustus 1945 sebuah bom atom dijatuhkan di atas kota Hiroshima Jepang oleh Amerika Serikat yang mulai menurunkan
moral semangat tentara Jepang di seluruh dunia. Pada tanggal 9 Agustus 1945, bom atom kedua dijatuhkan di atas Nagasaki sehingga menyebabkan Jepang menyerah kepada
Amerika Serikat dan sekutunya. Momen ini pun dimanfaatkan oleh Indonesia untuk
memproklamasikan kemerdekaannya.
Soekarno, Hatta dan Radjiman Wedyodiningrat diterbangkan ke Dalat, 250 km di sebelah timur laut Saigon, Vietnam untuk bertemu Marsekal Terauchi. Mereka dikabarkan bahwa
pasukan Jepang sedang di ambang kekalahan dan akan memberikan kemerdekaan
kepada Indonesia.
Pada tanggal 10 Agustus 1945, Sutan Syahrir telah mendengar berita
lewat radio bahwa Jepang telah menyerah kepada Sekutu. Para pejuang bawah tanah
bersiap-siap memproklamasikan kemerdekaan RI, dan menolak bentuk kemerdekaan
yang diberikan sebagai hadiah Jepang.
Pada tanggal 12 Agustus 1945, Jepang melalui Marsekal Terauchi di Dalat, Vietnam, mengatakan kepada Soekarno, Hatta
dan Radjiman bahwa pemerintah Jepang akan segera memberikan kemerdekaan kepada
Indonesia dan proklamasi kemerdekaan dapat dilaksanakan dalam beberapa hari,
tergantung cara kerja PPKI. Meskipun demikian Jepang menginginkan kemerdekaan
Indonesia pada tanggal 24 Agustus.
Dua hari kemudian, saat Soekarno, Hatta dan
Radjiman kembali ke tanah air dari Dalat, Sutan Syahrir mendesak agar Soekarno
segera memproklamasikan kemerdekaan karena menganggap hasil pertemuan di Dalat
sebagai tipu muslihat Jepang, Soekarno belum yakin bahwa Jepang memang telah
menyerah, dan proklamasi kemerdekaan RI saat itu dapat menimbulkan pertumpahan
darah yang besar, dan dapat berakibat sangat fatal jika para pejuang Indonesia
belum siap.
Pada tanggal 14 Agustus 1945 Jepang menyerah kepada Sekutu. Tentara dan Angkatan Laut Jepang masih berkuasa di
Indonesia karena Jepang telah berjanji akan mengembalikan kekuasaan di
Indonesia ke tangan Sekutu. Setelah mendengar desas-desus Jepang bakal bertekuk
lutut, golongan muda mendesak golongan tua untuk segera memproklamasikan
kemerdekaan Indonesia. Namun golongan tua tidak ingin terburu-buru. Mereka
tidak menginginkan terjadinya pertumpahan darah pada saat proklamasi.
Konsultasi pun dilakukan dalam bentuk rapat PPKI. Golongan muda tidak
menyetujui rapat itu, mengingat PPKI adalah sebuah badan yang dibentuk oleh
Jepang. Mereka menginginkan kemerdekaan atas usaha bangsa kita sendiri, bukan
pemberian Jepang.
Soekarno dan Hatta bersama Soebardjo kemudian ke kantor Bukanfu, Laksamana Maeda, di Jalan Imam Bonjol no. 1.Maeda menyambut kedatangan mereka dengan ucapan selamat atas keberhasilan mereka di Dalat. Sambil menjawab ia belum menerima konfirmasi serta masih menunggu instruksi dari Tokyo. Keesokan harinya Soekarno dan Hatta segera mempersiapkan pertemuan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada pukul 10 pagi 16 Agustus guna membicarakan segala sesuatu yang berhubungan dengan persiapan Proklamasi Kemerdekaan.
Soekarno dan Hatta bersama Soebardjo kemudian ke kantor Bukanfu, Laksamana Maeda, di Jalan Imam Bonjol no. 1.Maeda menyambut kedatangan mereka dengan ucapan selamat atas keberhasilan mereka di Dalat. Sambil menjawab ia belum menerima konfirmasi serta masih menunggu instruksi dari Tokyo. Keesokan harinya Soekarno dan Hatta segera mempersiapkan pertemuan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada pukul 10 pagi 16 Agustus guna membicarakan segala sesuatu yang berhubungan dengan persiapan Proklamasi Kemerdekaan.
Sehari kemudian, gejolak tekanan yang
menghendaki pengambilalihan kekuasaan oleh Indonesia makin memuncak dilancarkan
para pemuda dari beberapa golongan. Rapat PPKI pada 16 Agustus pukul 10 pagi
tidak dilaksanakan karena Soekarno dan Hatta tidak muncul. Peserta rapat tidak
tahu telah terjadi peristiwa Rengasdengklok.
Pada dini hari tanggal 16 Agustus 1945, Para
pemuda pejuang termasuk Chaerul saleh, Sukarni, Wikana, Shodanco Singgih dan
pemuda lainnya membawa soekarno, beserta fatmawati dan Guntur yang baru berusia
9 bulan dan hatta ke rengasdengklok yang kemudian dikenal dengan peristiwa
rengasdengklok.
Tujuannya adalah agar Ir. Soekarno dan Drs.
Moh. Hatta tidak terpengaruh oleh jepang. Di sini, mereka kembali meyakinkan
Soekarno bahwa Jepang telah menyerah dan para pejuang telah siap untuk melawan
Jepang, apa pun risikonya. Di Jakarta, golongan muda, Wikana, dan golongan tua,
yaitu Mr. Ahmad Soebardjo melakukan perundingan. Mr.
Ahmad Soebardjo menyetujui untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia di
Jakarta. maka diutuslah Yusuf Kunto untuk mengantar Ahmad Soebardjo ke Rengasdengklok. Mereka menjemput Ir.
Soekarno dan Drs. Moh. Hatta kembali ke Jakarta. Dan Mr. Ahmad Soebardjo
berhasil meyakinkan para pemuda untuk tidak terburu – buru memproklamasikan
kemerdekaan.
Malam harinya, Soekarno dan Hatta kembali ke
Jakarta, Lalu bertemu dengan Mayor Jenderal Otoshi Nishimura, Kepala Departemen Urusan
Umum pemerintahan militer Jepang. Nishimura mengemukakan bahwa sejak siang hari
tanggal 16 Agustus 1945 telah diterima perintah dari Tokio bahwa
Jepang harus menjaga status quo, tidak dapat memberi ijin untuk
mempersiapkan proklamasi Kemerdekaan Indonesia sebagaimana telah dijanjikan
oleh Marsekal Terauchi di Dalat, Vietnam. Soekarno dan Hatta menyesali
keputusan itu dan menyindir Nishimura apakah itu sikap seorang perwira yang
bersemangat Bushido, ingkar janji agar dikasihani oleh Sekutu. Setelah dari
rumah Nishimura, Sukarno-Hatta menuju rumah Laksamana Maeda diiringi oleh Myoshi guna
melakukan rapat untuk menyiapkan teks Proklamasi.
Penyusunan teks Proklamasi dilakukan oleh
Soekarno, M. Hatta, Achmad Soebardjo dan disaksikan oleh Soekarni, B.M. Diah, Sudiro dan Sayuti Melik. Konsep teks
proklamasi ditulis oleh Ir. Soekarno sendiri. Dan Sukarni mengusulkan agar yang
menandatangani teks proklamasi itu adalah Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta atas
nama bangsa Indonesia.
Setelah konsep selesai disepakati, Sajuti
menyalin dan mengetik naskah tersebut menggunakan mesin ketik milik Mayor Dr.
Hermann Kandeler (dari kantor perwakilan AL Jerman). Dan pembacaan
proklamasi dilakukan dikediaman Soekarno, Jalan Pegangsaan Timur 56 (sekarang Jl. Proklamasi
no. 1).
Pagi harinya, 17 Agustus 1945, di kediaman
Soekarno, Jalan Pegangsaan Timur 56 telah hadir antara lain Soewirjo, Wilopo, Gafar Pringgodigdo, Tabrani dan Trimurti. Acara dimulai pada pukul 10:00 dengan
pembacaan proklamasi oleh Soekarno dan disambung pidato singkat tanpa teks.
Kemudian bendera Merah Putih, yang telah dijahit oleh bu Fatmawati, dikibarkan
oleh seorang prajurit PETA yaitu Latief Hendraningrat dibantu oleh Soehoed dan seorang pemudi membawa
nampan berisi bendera Merah Putih . Setelah bendera berkibar, hadirin
menyanyikan lagu Indonesia Raya. Sampai saat ini, bendera
pusaka tersebut masih disimpan di Museum TuguMonumenNasional.
TUGAS KLIPING
SEJARAH KEMEDEKAAN
INDONESIA